Selasa, 16 Agustus 2011

Fenomena Upacara 17 Agustus di Puncak Gunung


Mengikuti jejak atau napak tilas perjuangan dan semangat yang dikobarkan para pendahulu kita sungguh sebuah perbuatan yang sangat terpuji, dimana kita bisa mengambil pelajaran yang begitu berharga akan artinya sebuah kecintaan terhadap tanah air, serta mencoba menghayati nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Setiap tahunnya banyak dilakukan pesta rakyat yang sudah menjadi sebuah adat disetiap negara, hal yang wajar.

Tak ketinggalan pula kaum pendaki atau mereka yang menamakan Pecinta Alam pun tak mau kalah untuk ikut merayakannya. Berbagai ragam bentuk kegiatan yang dilakukan mereka dengan satu tujuan memperingati Hari Kemerdekaan Ibu Pertiwi tercinta. Upacara 17 Agustus di 'Puncak Gunung' salah satu fenomena yang paling banyak dilakukan oleh para pendaki (pecinta alam) saat ini.

Beratus-ratus pendaki, bahkan beribu-ribu orang mencoba untuk mengikuti upacara tersebut. Tak ayal lagi gunung yang menjadi tempat kesunyian bernaung, tempat para penghuninya bebas menikmati hidup…menjadi hiruk-pikuk layaknya mall-mall metropolis yang penuh dengan gemerlapnya dunia. Begitu senangnya hati kita disaat seperti itu, semua kegembiraan terluapkan tanpa batas. Seolah-olah seisi rimba raya ikut menikmati apa yang kita rasakan saat itu.
Tapi, benarkah seperti itu ?!?!?!

Pernah kah kita merenung dan memikirkan hal itu, yang dulu kita anggap hal sepele bahkan mungkin tak terbersit dihati kita (karena ke-egoisan ?!?!?!). Dalam sebuah pendakian normal saja, alam cukup repot untuk mengembalikan habitatnya yang kita rusak. Bayangkan bila ratusan bahkan ribuan pendaki dengan berbagai macam sifat dan karakteristik yang berbeda, bahkan terselip sifat merusak (vandalisme). Berpuluh-puluh ton kita cemari alam ini dengan sampah, beribu-ribu liter zat kimia kita tabur disana, berapa banyak racun yang telah kita semai di dalamnya?. Bisakah alam ini menjaga amanat yang dipikulnya? Amanat untuk melayani kehidupan manusia.. Mampu kah mereka melakukannya?!?!?!. Salahkah bila alam menjadi murka, menjerit akibat ulah manusia yang ingin memuaskan nafsu tak terbatasnya.

Oh, betapa malangnya nasib-mu, Ibu Pertiwi
Kau berikan...Keindahan.............
Kau berikan...Kedamaian ............
Namun semua kebaikan-mu terbalas sudah dengan menguras air mata-mu

Kawan…
Apa yang telah kita perbuat selama ini belumlah terlambat. Tak ada istilah terlambat kecuali kita membiarkan hal ini terus berlanjut. Tidak ada larangan untuk mendaki gunung, tidak ada anjuran untuk berhenti berpetualang, namun tak ada salahnya bila kita mulai memperbaiki perilaku kita terhadap alam ini mencoba untuk lebih perhatian dan lebih mencintainya seperti kita mencintai diri sendiri.

= hijjau, sepenggal perjalanan =

Tidak ada komentar:

Posting Komentar